SKENARIO ALLAH
Ditulis oleh: Govi Alifitra
***
"Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak." (Q.S An-Nisā: 4/100).
***
Hari ini, pukul setengah sebelas siang, aku baru saja pulang dari sekolah. Terlihat ada seseorang tengah berdiri di depan rumah kecil tempat yang ku diami itu.
"Assalamu'alaikum," begitu dia menyapa. Perempuan yang mengenakan gamis abu-abu lengkap dengan cadar serta jilbab berwarna hitam itu terlihat seperti sedang kebingungan.
"Wa'alaikumussalam," jawabku.
"Permisi, Mas. Mau tanya."
Perempuan itu menundukkan sedikit kepalanya sesaat. "Rumah Muhammad Zaid di mana, ya?" sambungnya sambil menunjukkan sebuah amplop surat yang berisikan nama dan alamat yang dimaksud.
Ada satu hal yang terteka dalam ruang pikirku. Hanya satu, hal yang membuat aku tak bisa terus memaparkan senyum dan lebih memilih untuk tidak banyak bicara.
"Aa... Gimana ya, Kak? Alamatnya sih kayaknya memang benar di sini, tapi nama orang ini saya enggak tahu siapa."
"Aduh, gitu ya, Mas?"
Aku hanya mengangguk kecil. Perempuan itu pun kemudian pamit dengan wajah yang kelihatan lesu dan kecewa.
Dari kaca jendela kamar, aku melihat seorang dengan wajah yang tak jauh berbeda. Iya, dia temanku. Ada satu hal yang belum dapat ku jelaskan saat ini.
***
Muhammad Zaid, itulah namanya. Dia tinggal di desa Wonosari Tengah, Kecamatan Bengkalis, satu rumah denganku. Saat ini Zaid sedang berkuliah di STAIN Bengkalis program studi Manajemen Dakwah, semester empat, begitu juga denganku.
Malam itu, malam di mana perasaan resah yang dulu pernah ada, akhirnya tiba kembali setelah ia melihat kejadian tadi siang. Hampa, takut, sedih semuanya bercampur aduk menyirami tatanan hati yang semula baik-baik saja.
Sebenarnya apa yang dia pikirkan?
[Sudah dua tahun, ya. Ternyata Tuhan masih mengizinkan kita untuk tetap bertahan dalam hubungan ini]
Itu adalah satu dari ribuan pesan chat yang masuk dalam hp Zaid dan pernah kubaca sekilas pandang. Iya, pesan dari Devi, mantan pacarnya.
Sekitar setahun yang lalu, Zaid memutuskannya dengan alasan ingin hijrah. Pada awalnya Devi sempat tidak terima dengan keputusan itu, tapi mendengar satu ucapan yang diberikan oleh Zaid, akhirnya Devi menyerah.
"Jika memang jodoh, pasti Allah akan persatukan kita kembali."
Begitulah ucapan Zaid yang kesannya mampu melembutkan hati Devi.
Namun pada kenyataannya, Zaid malah jatuh hati pada seorang gadis bernama Zulaikha. Bahkan ia telah mengungkapkan perasaan itu, dan Zulaikha menerima. Bukan sebagai pacar atau kekasih, tapi sebagai calon suami. Lebih tepatnya, mereka menjalin komitmen dan berencana akan menikah setelah lulus kuliah.
Akan tetapi komitmen mereka tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, terjadi sebuah perihal tak terduga. Zulaikha dilamar oleh seorang pemuda mapan juga sholeh, dan diterima kedua orang tuanya. Tidak ada yang dapat mengubah keputusan itu, 'siapa cepat dia dapat'.
Motivasi berhijrah Zaid semakin memusnah ketika ia berjumpa dengan sang teman lama. Tentu saja bersama pacarnya. Singkat cerita, Zaid pun terjerumus kembali ke lubang kemaksiatan akibat pengaruh teman sepergaulan.
Hampir setiap hari dan malam, mereka pergi ke luar, melangkahkan kaki, mengayunkan tangan, menolehkan kepala yang membuat mereka semakin jauh dari zona ketakwaan yang seharusnya dikuatkan.
***
Masih dalam keadaan yang sama, aku melihatnya dari balik selimut yang sedikit kusingkap dengan sengaja. Merangkul kedua lututnya, sambil menjengah ke luar jendela dengan tatapan kosong entah ke mana.
Jelas saja aku tahu apa yang sedang ia pikirkan, dan jika dikaitkan dengan kejadian tadi siang, tentu itu adalah masalah tentang masa lalunya dengan Devi.
Iya, perempuan bercadar yang menemuiku tadi adalah Devi, aku mengenalnya dari sosial media milik Zaid. Dan ternyata Devi ialah salah seorang mahasiswi yang merupakan kakak tingkatku.
Apa yang dipikirkan Zaid saat ini tentu saja berhubungan dengan alasan hijrah yang pernah ia ucapkan ketika hendak memutuskan Devi kala itu. Jelas ia sangat merasa bersalah, meski itu membuat mereka menjauh dari kata 'zina' namun alasannya mengatasnamakan 'hijrah' jelas tidak benar. Karena faktanya, setelah hari itu ia malah menjadi lebih buruk.
Beruntung, sekarang ia telah sadar dan sepenuhnya benar-benar sudah berubah. Mungkin berkat kehendak-Nya, kami dipertemukan, untuk saling menasehati dalam kebaikan.
Namun penyesalan selalu membuntutinya. Dan tidak lain tidak bukan adalah sebagai tolak ukur dari hijrahnya. Sekuat apa dia bertahan dalam menghadapi itu.
"Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap." (HR. Bukhari dan Muslim).
***
Berubah. Suasana kini telah berbeda. Zaid menangis di hadapan bayang-bayangnya sendiri. Ratapan kekhilafan yang terus ia bayangkan itu berhasil menyentuh relung hatinya. Dan dia juga tak mau pedulikan siapa saja yang melihatnya saat ini.
Tersentuh, hati kecilku mulai merasa iba dengan keadaannya yang semakin lama semakin menderas luluh. Tak ada pilihan selain dari tidur, itulah satu-satunya cara agar aku tak lagi ikut campur dalam urusan asmara orang.
***
Suara adzan subuh baru saja selesai dikumandangkan, sedari tadi aku telah siap dengan sarung serta baju koko. Sementara Zaid masih pulas tertidur. Berkali-kali aku membangunkannya, namun tanggapannya hanya "Iya."
Tidak mau telat sholat berjamaah, aku pun pergi sendirian meninggalkan Zaid yang masih tidur.
Sepulang dari masjid, aku berniat untuk jalan-jalan, sepertinya suasana jalan raya di waktu subuh begitu menyegarkan.
"Man! Man!" teriakan Zaid kali ini yang kudengar, beserta helaan nafas yang tidak teratur datang dari arah belakang.
"Zaid. Kamu kenapa?" aku bertanya ragu sekaligus penasaran.
"Anu...," berusaha untuk mengatur nafasnya terlebih dahulu, lalu Zaid melanjutkan, "Tadi... tadi aku mimpi."
"Terus?"
"Kau tau aku bermimpi tentang apa?"
Aku hanya menggeleng.
"Devi, Man. Devi!" Zaid mengguncangkan pundakku dengan sedikit kencang.
"Devi kenapa?" aku semakin penasaran.
"Dia memintaku untuk menikahinya."
Hening seketika. Entahlah, aku tidak bisa menebak apakah Zaid merasa senang atau malah sebaliknya, ekspresinya begitu membingungkan.
"Itu kan cuma mimpi, jangan dibawa serius!"
"Tapi firasatku mengatakan kalau ini adalah nyata, Man."
"Jadi aku harus apa?" tanyaku tidak mau memperpanjang.
"Kasi aku saran, Man!"
Beberapa saat setelah aku ingin berbicara, aku mendapati seseorang tiba-tiba datang berjalan mendekati kami dari arah samping.
Itu dia, akhirnya aku tidak perlu lagi memberikan Zaid masukan apa-apa.
"Assalamu'alaikum." Ustadz Malik menyapa.
"Wa'alaikumussalam," jawab kami seraya menyalaminya.
"Kalian, tumben sekali jalan-jalan subuh begini," Ustadz terkekeh kecil. Betapa tidak, selalunya selepas subuh, kami langsung pulang dan tidak pernah seperti sekarang.
"Hehe, iya nih. Ustadz sendiri habis dari masjid, ya?" aku mencoba untuk akrab dengan Ustadz paruh baya itu.
"Ah tidak, ane habis nyangkul di kebun dekat rumah." Jangkrik bernyanyi tanda hening menerpa.
"Hehe, ya dari masjid, pakaian ane saja masih begini," terangnya.
"Oohh, iya juga ya, Ustadz."
Ustadz Malik tersenyum.
"Anu... boleh tanya sesuatu tidak, Ustadz?" Zaid mencoba membuka sebuah obrolan baru dengan mendadak.
"Silakan."
"Eum... Bagaimana kalau kita ingin menikahi seorang perempuan sementara kita belum punya pekerjaan tetap dan bahkan belum lulus kuliah?"
Pertanyaan itu, seharusnya aku ikut tertawa seperti apa yang sekarang Ustadz Malik lakukan. Tapi sejenak perasaanku berkata lain. Ada unsur keseriusan dibalik pertanyaan yang aku rasa mengada-ada itu.
Uhuk uhuk
Batuk itulah yang memberhentikan Ustadz dari lenanya ia tertawa. Dan kali ini beliau mencoba memasang wajah serius.
Angin sejuk di subuh hari bertiup bahagia. Pertanyaan Zaid tadi pun kini siap dijawab oleh Ustadz Malik yang sekarang telah duduk di kursi dekat rumahnya.
"Zaid. Ane tau, alasan kenapa antum bertanya demikian. Tapi yang perlu antum ketahui, bahwasannya pernikahan bukanlah soal kita sudah bekerja ataupun tidak. Tolak ukur kemampuan manusia itu sejatinya adalah ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah."
"Tapi bagaimana cara kita bisa bertanggung jawab kepada anak-istri kita nanti kalau kita belum punya penghasilan?"
"Zaid, bukankah Allah pernah berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 2 sampai dengan 3 yang artinya: Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu."
"Tapi Ustadz-"
"Tidak ada kata 'tapi'. Percayalah pada janji Allah."
***
Sejak hari itu, sebuah keajaiban terjadi. Zaid, kini telah mantap dengan pilihannya. Niat serta tekat berhijrahnya ia cukupkan karena Allah Ta'ala, tentunya bukan karena perempuan yang ingin dinikahinya. Dua bulan setelah ia wisuda. Zaid akhirnya menikah.
Dengan seseorang yang dulu pernah disebut sebagai kekasih (tak halal), seseorang yang dulu pernah ia bohongi. Seseorang yang kini juga telah semakin mantap dalam urusan agama Islam.
Devina Syahira.
Dua tahun berlalu dan mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki. Zaid yang dulunya pernah mengeluh sebab tak memiliki jaminan pekerjaan, sekarang telah menjadi seorang PNS di sebuah kantor Kementerian Agama.
Sementara aku, Alhamdulillah atas izin Allah aku dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta atas beasiswa prestasi yang berhasil kudapatkan.
Begitulah.
"Tiada sesiapapun yang tau bagaimana skenario Allah berjalan. Yang pasti, kita hanya perlu menjalaninya dengan penuh semangat keikhlasan, bukan mengharapkan kebahagiaan dunia melainkan juga kesenangan akhirat, semata-mata hanya karena Allah Ta'ala."
***
"Hijrahlah! Meskipun itu melelahkan. Kamu hanya harus yakin, bahwa lelahmu di dunia tak'kan sebanding dengan kenikmatan yang akan kamu dapati di akhirat nanti. Jika itu kamu kerjakan hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. InsyaAllah."
—TAMAT—
Asalamualaikum. Ceritannya bagus. Menginspirasi juga.
BalasHapusWa'alaikumussalam.
HapusAlhamdulillah, terima kasih.
Terima kasih juga telah berkunjung 🙏🙂
BalasHapus